Suara itu seperti mantra pembakar semangat tatkala Tim Nasional Indonesia berlaga di Piala AFF 2010. “In …do …ne …sia!,” teriak puluhan ribu penonton, setiap kali tim Merah Putih tampil. Di lapangan hijau, orang-orang dibuat takjub. Tiba-tiba, semua tergila-gila pada Timnas Indonesia.
Dada para pemuja kian busung sejak Indonesia melipat Malaysia 5-1. Lalu mencukur Laos 6-0, dan menundukkan Thailand 2-1. Di sekujur tanah air, pendukung Indonesia pun mengharu haru biru. Seakan inilah hiburan kecil dikirim Tuhan di tengah gelombang bencana.
Segala atribut Tim Merah Putih, baik itu kaos, syal maupun lainnya laris manis di pasaran. Kini, banyak suporter dengan bangganya mengenakan kaos timnas di jalanan. Tak peduli itu asli, maupun bajakan.
“Sejak 1979, saya meliput dan mengikuti perkembangan sepakbola tanah air, baru kali ini saya melihat euforia luar biasa. Sekarang sulit mencari kaos timnas di pasaran, baik asli dengan harga mahal, maupun yang bajakan,” kata Mahfudin Nigara, pengamat sepakbola.
Euforia semacam ini muncul kali terakhir pada Piala Asia 2007. Tercatat 90.000 penonton memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno saat itu. Pemicunya, tak lain kemenangan tuan rumah Indonesia atas Bahrain 2-1 di laga pembuka.
Sayangnya, Indonesia gagal melangkah ke babak 8 besar setelah dikalahkan Arab Saudi 1-2 dan Korea Selatan 0-1. Euforia pun meredup setelah itu.
Apalagi ditambah semakin terpuruknya prestasi sepakbola Indonesia di pentas internasional. Terakhir, tim sepakbola Indonesia gagal total di SEA Games 2009 setelah kalah dari Laos 0-2 dan Myanmar 1-3.
Tiga sihir euforia
Api euforia sepakbola Indonesia dipicu oleh beberapa hal. Pertama, pergantian pelatih ke tangan Alfred Riedl di awal tahun, atau setelah kegagalan di SEA Games. Mantan pelatih Laos ini pun ditugasi menangani tim junior Indonesia-23 yang dikalahkannya di SEA Games.
Pecinta sepakbola Indonesia penasaran ingin melihat racikan baru di timnas. Apa saja yang bisa dilakukan Riedl?
Di tangannya, banyak pemain muda mulai masuk ke timnas Merah Putih. Ya, Riedl memang mulai meniupkan angin regenerasi di tubuh timnas yang sebenarnya sudah lama dikehendaki PSSI.
Para pemain lama seperti Ponaryo Astaman, Ellie Aiboy dan Isnan Ali tak muncul lagi di tim Riedl. Mereka digantikan oleh darah-darah baru macam Muhammad Nasuha, Zulkifli Syukur, Ahmad Bustomi, Oktovianus Maniani dan Yongki Aribowo.
Faktor berikutnya yakni program naturalisasi kolaborasi PSSI dan pemerintah. Dari program ini muncullah nama Christian Gonzales yang langsung menjadi penyerang utama Indonesia.
Striker berjuluk El Loco ini mendapatkan paspor Indonesia setelah delapan tahun bermukim di Indonesia. Pria asal Uruguay ini juga mampu menunjukkan prestasi dengan menjadi pencetak gol terbanyak selama 7 kali di pentas Liga Indonesia.
Meski sudah berusia 34 tahun, ketajaman El Loco tak berkurang. Total, sudah 4 gol ia sumbangkan saat 4 kali membela Merah Putih. Ketajaman El Loco menyisihkan striker veteran yang lebih muda, Bambang Pamungkas (30 tahun).
El Loco kian kuat karena didukung tandemnya di lini depan, Irfan Bachdim. Euforia kepada penampilan El Loco di timnas makin tanak dengan kehadiran Bachdim. Jalan pemain 22 tahun keturunan Belanda yang baru pulang ke Indonesia ini sangat lapang ke timnas berkat paspor Indonesia yang telah dimilikinya.
Bachdim telah menyumbang 2 gol dalam 5 penampilannya. Ia pun menjadi pujaan baru bukan hanya karena menyuguhkan permainan apik di lapangan. Bachdim yang ‘good loooking’ juga membuat kesengsem para fans kaum hawa.
Sukses dengan program naturalisasi –meski Bachdim bukan pemain naturalisasi, pun terus digulirkan PSSI bekerjasama dengan Pemerintah. Sejumlah pemain keturunan Belanda kini dalam proses pindah warga negara.
Terakhir, pembangkit utama munculnya kembali euforia itu adalah prestasi. Naturalisasi, regenerasi atau apa pun yang dilakukan PSSI dan Pemerintah takkan menjadi ledakan semangat, jika Tim Nasional Indonesia tak main dengan indah.
“Terus terang, saya berjudi soal naturalisasi ini. Saya tak tahu lagi jika Indonesia kalah. Dan semoga itu tak terjadi,” kata Iman Arif, Deputi Bidang Teknis PSSI yang juga salah satu pelaksana program naturalisasi ini.
‘Ekspedisi’ ke Belanda
Program naturalisasi dimulai dengan ‘ekspedisi’ ke Belanda pada Februari 2009. Saat itu, PSSI membentuk tim terdiri dari Iman Arif, Reva Deddy Utama, Mahfudin Nigara dan Erwiyantoro.
Selama tiga pekan, mereka menjadi talent scouting untuk memantau para pemain potensial, terutama yang punya hubungan darah Indonesia. Mereka menyusuri beberapa kota di Belanda, dari Amsterdam, Utrecht sampai Den Haag.
Pemain yang dibidik berusia 26-35 tahun. Alasannya, pemain di usia itu masih potensial, mau menukar kwarganegaraan menjadi WNI karena pasti takkan dipakai tim nasional Belanda. Saat itu muncullah sekitar 36 nama.
Pada 2010, nama ini mengerucut jadi 10. Lalu tinggal menjadi 5 yakni Kim Jeffrey Kurniawan, Sergio van Dijk, Raphael Maitimo, Jhony van Beukering dan Tobias Waisapy. Sayangnya, dari lima nama itu belum ada yang bisa mendapatkan paspor Indonesia.
“Problemnya beragam. Mereka selalu menanyakan jaminan hidup masa depan, asuransi serta mendengar nasihat keluarga ketika harus melepas paspor Belanda dan menukarnya dengan paspor Indonesia,” tutur Iman Arif, salah satu talent scouting yang kini duduk sebagai Deputi Bidang Teknis PSSI.
Talent scouting sempat mengusulkan kepada Departemen Hukum dan HAM agar memberikan hak istimewa (lex specialis) di bidang olahraga, bukan hanya sepakbola. Jadi, atlet-atlet naturalisasi ini dianggap spesial sehingga bisa memiliki kewarganegaraan ganda yang selama ini tak dikenal di Indonesia. “Sayangnya, saat itu pihak Departemen Hukum dan HAM tak menyetujui usulan lex specialis. Jadi, usaha kami agak menemui kesulitan,” ucap Nigara.
Meski begitu, proses naturalisasi itu jalan terus. Dan tampaknya pemain naturalisasi di timnas Indonesia akan bertambah dalam waktu dekat. Menurut Iman, Kim Jeffrey yang berdarah Jerman akan mendapatkan paspor Indonesia, paling lambat tahun depan. “Untuk soal naturalisasi ini, Pemerintah sangat mendukung. Saya pernah ditelepon staf khusus Presiden SBY agar mempercepat prosesnya,” lanjut Iman.
Target akhir kelak, minimal tim nasional Indonesia memiliki 5 pemain naturalisasi. Lalu, mereka akan dititipkan di beberapa klub Eropa, atau dipertahankan di klubnya jika memang sudah bermain di benua biru itu.
Ini dilakukan demi menjaga mutu, serta memantik kembali euforia sepakbola di Indonesia. “Masyarakat akan heboh ketika saat diperkenalkan salah satu pemain Indonesia berasal dari Ajax Amsterdam, misalnya. Ini juga akan menjadi berita besar,” terus Iman.
Pemain potensial yang berlevel timnas seperti Irfan Bachdim dan Oktovianus Maniani pun akan dipromosikan ke klub-klub Eropa. Mereka takkan dilepas jika hanya ditawar oleh klub-klub negara Asia. Apalagi ASEAN.